Minggu, 17 Oktober 2010

Jangan Ada Lagi Chernobyl. Nuklir Bukan Solusi Energi Indonesia

Hari ini 40 orang aktivis organisasi masyarakat sipil dari Greenpeace, WALHI, Kiara, Jatam, MANUSIA, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF, Muria Institute dan PMB membentangkan spanduk sepanjang 90 meter bertuliskan “No Nukes, No More Chernobyl” di depan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk memperingati kecelakaan nuklir yang fatal yang terjadi 24 tahun silam dan mendesak pemerintah membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia. Selain di Jakarta, aksi penolakan pembangunan PLTN juga terjadi Jepara, Madura, Samarinda, Kalimantan Timur, Bangka-Belitung, dimana pemerintah daerah kedua propinsi terakhir tersebut menginginkan pembangunan PLTN di daerahnya.

Pada tanggal 26 April 1986 terjadi kecelakaan fatal yang menimpa reaktor nomor 4 di pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl di Ukraina, yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Uni Sovyet. Sebagian besar radiasi dilepaskan dalam 10 hari pertama setelah kecelakaan, mencemari daerah yang sangat luas dan menimbulkan dampak negatif pada jutaan orang. Pencemaran akibat radiasi tersebut mencapai wilayah Skandinavia, Yunani, Eropa Tengah dan Timur, Jerman, Perancis, Inggris, bahkan hingga ke Jepang dan Alaska.

Dian Abraham dari MANUSIA menyatakan, “Peristiwa kecelakaan ini membuktikan bahwa teknologi yang dianggap sangat canggih ini ternyata tidak aman, berlawanan dengan janjinya di tahun 1950an. Chernobyl, setelah sebelumnya terjadi kecelakaan Three Miles Island di AS, menjadi bukti bahwa kekhawatiran pemrotes nuklir sama sekali tidak mengada-ada. Ketiadaan kecelakaan yang setara saat ini tidak berarti bahwa teknologi PLTN sudah aman. Berbagai laporan resmi justru menunjukkan puluhan ribu peristiwa (event), baik berupa insiden (incident) maupun kecelakaan (accident) terjadi di seluruh dunia. Jangan sampai peristiwa seperti Chernobyl terjadi di Indonesia yang kondisi geografisnya meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan nuklir.”

Greenpeace menggaris bawahi dibutuhkannya kepemimpinan negara yang kuat untuk membuat peraturan akan penggunaan energi terbarukan secara massal. Sebagai perbandingan, China yang pada tahun 2005 mengimplementasikan Undang-Undang Promosi Energi Terbarukan, berhasil membawa negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia itu menjadi negara yang paling maju dan cepat dalam mengembangkan tenaga angin, dan sangat membantu China menurunkan tingkat emisi dengan sangat cepat.

“Meninggalkan investasi bahan bakar fosil dan nuklir untuk dialihkan pada panas bumi, angin, dan matahari tidak hanya merupakan pilihan pintar untuk mengurangi emisi karbon dan risiko bencana ekologis, tetapi juga pilihan ekonomi yang pintar,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Koesnadi Wirasapoetra dari SHI mengatakan, Indonesia terbukti tidak memiliki budaya nuklir. Seperti halnya di Chernobyl di mana operator PLTN beserta pemerintahnya berupaya menutup-nutupi terjadinya kecelakaan itu sehingga mengorbankan masyarakatnya yang tidak tahu bahaya yang mengintainya, pemerintah Indonesia ternyata juga melakukan hal yang sama saat terjadi kecelakaan di fasilitas nuklir Serpong beberapa waktu lalu. Bahkan BAPETEN sama sekali tidak memberi informasi apapun kepada masyarakat yang seharusnya dilindunginya.

Cut Rindayu dari SatuDunia menambahkan, “Sebagaimana informasi perihal dampak Chernobyl yang sarat dengan pelintiran dan pembohongan publik, rencana PLTN di Indonesia setali tiga uang. Pemerintah tidak terlihat berupaya memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Tidak hanya itu, rencana PLTN tersebut bahkan terkesan ditutup-tutupi dan pernyataan pemerintah sulit dipegang karena sering berubah-ubah.

“Nuklir bukanlah opsi satu-satunya sebagai energi alternatif guna menjawab kebutuhan listrik di di Indonesia. Pernyataan yang menyatakan bahwa energi yang paling aman dan murah kepada publik yang selalu dikeluarkan otoritas nuklir, jelas perlu dikritisi lebih lanjut. Karena di sini masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Termasuk sampah nuklir yang baru habis setelah 2000 tahun.,” demikain kata Musfarayani dari IESR.

Dan alasan bahwa energi nuklir, seperti dinyatakan pendukungnya, adalah solusi bagi persoalan perubahan iklim juga tidak tepat dan menyesatkan. PLTN terlalu mahal, terlalu lama pembuatannya, terlalu berbahaya, dan terlalu kotor untuk menjadi solusi bagi persoalan lingkungan hidup kita, demikian dikatakan Giorgio Budi Indarto dari CSF.

“Hingga saat ini energi nuklir tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah yang ditimbulkannya sendiri, yakni radioaktifitas yang mencemari masyarakat dan lingkungannya mulai dari penambangan uranium, pengoperasian normal PLTN, dan dalam bentuk limbah nuklir yang abadi,” ditambahkan Ali Akbar, Kadep Kelembagaan WALHI.

Abdul Halim, Koordinator Program KIARA menambahkan bahwa keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan mencerminkan tingginya resiko atas penggunaan reaktor nuklir di Indonesia. Secara alamiah, 84 persen wilayah kepulauan Indonesia merupakan kawasan yang rentan terhadap bencana. Di sisi lain, bencana ekologis di kawasan perairan sulit untuk dilokalisir. Jika hal ini terjadi, nelayan dan masyarakat pesisir akan mengalami kerugian yang teramat besar. Sebagai contoh, pembangunan PLTU Tanjung Jati B di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang menimbulkan dampak luar biasa bagi nelayan. Akibat pembangunan itu, sekitar 160 hektar perairan tidak diperbolehkan untuk dijadikan daerah operasi (baca: penangkapan ikan) nelayan.

"Dengan 2/3 lautan yang dimiliki Indonesia, pada dasarnya pemerintah Indonesia memiliki potensi besar dengan memanfaatkan energi arus laut, bukan nuklir yang berbahaya tinggi, seperti terjadi di Chernobyl," kata Halim.

Siti Maimunah dari JATAM menyatakan, “Indonesia hanya memanfaatkan kurang dari 5% dari potensi energi terbarukan yang ada. Tapi mengobral sumber-sumber energi tak terbarukan yang dimilikinya untuk kebutuhan asing. Orientasi ekspor energi dan produksi konsumsinya harus segera diubah, bukan terus-terusan berilusi kita butuh energi nuklir,” katanya.

Sumedi, Ketua Persatuan Masyarakat Balong menambahkan apa yang terjadi saat ini sebenarnya hanyalah upaya korporasi multinasional nuklir yang sedang sekarat karena kehilangan pasarnya di negara maju. Dengan iklan yang canggih beserta bujukan nasionalisme kosong, industri nuklir tersebut melakukan dumping teknologi usang mereka ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.


Sumber :
http://www.walhi.or.id/in/kampanye/iklim-dan-energi/176-siaran-pers/1277-jangan-ada-lagi-chernobyl-nuklir-bukan-solusi-energi-indonesia
26 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar